Kamis, 26 September 2013

Pentingnya Pendidikan Moral

Anak saya bersekolah di salah satu Sekolah Dasar Negeri (SDN) kota Tokyo, Jepang. Pekan lalu, saya diundang untuk menghadiri acara “open school” di sekolah tersebut. Kalau di Indonesia, sekolah ini mungkin seperti SD Negeri yang banyak tersebar di pelosok nusantara. Biaya sekolahnya gratis dan lokasinya di sekitar perumahan.

Pada kesempatan itu, orang tua diajak melihat bagaimana anak-anak di Jepang belajar. Kami diperbolehkan masuk ke dalam kelas, dan melihat proses belajar mengajar mereka. Saya bersemangat untuk hadir, karena saya meyakini bahwa kemajuan suatu bangsa tidak bisa dilepaskan dari bagaimana bangsa tersebut mendidik anak-anaknya.

Melihat bagaimana ketangguhan masyarakat Jepang saat gempa bumi lalu, bagaimana mereka tetap memerhatikan kepentingan orang lain di saat kritis, dan bagaimana mereka memelihara keteraturan dalam berbagai aspek kehidupan, tidaklah mungkin terjadi tanpa ada kesengajaan. Fenomena itu bukan sesuatu yang terjadi “by default”, namun pastilah “by design”. Ada satu proses pembelajaran dan pembentukan karakter yang dilakukan terus menerus di masyarakat.

Dan saat saya melihat bagaimana anak-anak SD di Jepang, proses pembelajaran itu terlihat nyata. Fokus pendidikan dasar di sekolah Jepang lebih menitikberatkan pada pentingnya “Moral”. Moral menjadi fondasi yang ditanamkan “secara sengaja” pada anak-anak di Jepang. Ada satu mata pelajaran khusus yang mengajarkan anak tentang moral. Namun nilai moral diserap pada seluruh mata pelajaran dan kehidupan.

Sejak masa lampau, tiga agama utama di Jepang, Shinto, Buddha, dan Confusianisme, serta spirit samurai dan bushido, memberi landasan bagi pembentukan moral bangsa Jepang. Filosofi yang diajarkan adalah bagaimana menaklukan diri sendiri demi kepentingan yang lebih luas. Dan filosofi ini sangat memengaruhi serta menjadi inti dari sistem nilai di Jepang.

Anak-anak diajarkan untuk memiliki harga diri, rasa malu, dan jujur. Mereka juga dididik untuk menghargai sistem nilai, bukan materi atau harta.

Kamis, 12 September 2013

Matematika VS Antri

Seorang guru di Australia pernah berkata, “Kami tidak terlalu khawatir jika anak2 sekolah dasar kami tidak pandai Matematika. Kami jauh lebih khawatir jika mereka tidak pandai mengantri.
 Sewaktu ditanya : “Mengapa dan kok bisa begitu ? Kerena yang terjadi di negara kami justru sebaliknya”.
 Inilah jawabannya :

1. Karena kita hanya perlu melatih anak selama 3 bulan saja secara intensif untuk bisa Matematika, sementara kita perlu melatih anak hingga 12 Tahun atau lebih untuk bisa mengantri dan selalu ingat pelajaran berharga di balik proses mengantri.
 2.  Karena tidak semua anak kelak akan berprofesi menggunakan ilmu matematika kecuali TAMBAH, KALI, KURANG DAN BAGI. Sebagian mereka anak menjadi Penari, Atlet Olimpiade, Penyanyi, Musisi, Pelukis dsb.
 3.  Karena biasanya hanya sebagian kecil saja dari murid-murid dalam satu kelas yang kelak akan memilih profesi di bidang yang berhubungan dengan Matematika. Sementara SEMUA MURID DALAM SATU KELAS ini pasti akan membutuhkan Etika Moral dan Pelajaran Berharga dari mengantri di sepanjang hidup mereka kelak.

“Memang ada pelajaran berharga apa dibalik MENGANTRI?”

“Oh iya banyak sekali pelajaran berharganya:
 1.  Anak belajar manajemen waktu jika ingin mengantri paling depan datang lebih awal dan persiapan lebih awal.
 2.   Anak belajar bersabar menunggu gilirannya tiba terutama jika ia di antrian paling belakang.
 3.   Anak belajar menghormati hak orang lain, yang datang lebih awal dapat giliran lebih awal dan tidak saling serobot merasa diri penting..
 4.   Anak belajar berdisiplin dan tidak menyerobot hak orang lain.

5.   Anak belajar kreatif untuk memikirkan kegiatan apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi kebosanan saat mengantri. (di Jepang biasanya orang akan membaca buku saat mengantri)
6.   Anak bisa belajar bersosialisasi menyapa dan mengobrol dengan orang lain di antrian.
7.   Anak belajar tabah dan sabar menjalani proses dalam mencapai tujuannya.
8. Anak belajar hukum sebab akibat, bahwa jika datang terlambat harus menerima konsekuensinya di antrian belakang.
9.   Anak belajar disiplin, teratur dan kerapihan.
10.   Anak belajar memiliki RASA MALU, jika ia menyerobot antrian dan hak orang lain.
11.  Anak belajar bekerjasama dengan orang2 yang ada di dekatnya jika sementara mengantri ia harus keluar antrian sebentar untuk ke kamar kecil.
12.  Anak belajar jujur pada diri sendiri dan pada orang lain dan mungkin masih banyak lagi pelajaran berharga lainnya, silahkan anda temukan sendiri sisanya.

Saya sempat tertegun mendengarkan butir-butir penjelasannya. Dan baru saja menyadari hal ini saat satu ketika mengajak anak kami berkunjung ke tempat bermain anak Kids Zania di Jakarta.
 Apa yang di pertontonkan para orang tua pada anaknya, dalam mengantri menunggu giliran sungguh memprihatinkan.

1.   Ada orang tua yang memaksa anaknya untuk “menyusup” ke antrian depan dan mengambil hak anak lain yang lebih dulu mengantri dengan rapi. Dan berkata, “Sudah cuek saja, pura-pura gak tau aja !!”
 2.   Ada orang tua yang memarahi anaknya dan berkata, “Dasar Penakut”, karena anaknya tidak mau dipaksa menyerobot antrian.
 3.   Ada orang tua yang menggunakan taktik dan sejuta alasan agar anaknya di erbolehkan masuk antrian depan, karena alasan masih kecil capek ngantri, rumahnya jauh harus segera pulang, dsb. Dan menggunakan taktik yang sama di lokasi antrian permainan yang berbeda.
 4.   Ada orang tua yang malah marah2 karena di tegur saat anaknya menyerobot antrian, dan menyalahkan orang tua yang menegurnya.
 5.   Dan berbagai macam kasus lainnya yang mungkin anda pernah alami juga.?

Dikutip dari artikel Ayah Edi Konsultan Parenting